tulisan teori organisasi 8

Selasa, 07 Desember 2010

Cinta Pertama


cerpen-cinta-pertamaNamun perasaan ragu selalu mendera hatiku. Akankah Adit punya perasaan yang sama denganku. Aku tidak mengenal baik Adit. Aku setahun lebih tua darinya. Status sosial keluargaku dan keluarga Adit bagaikan langit dan bumi. Ayah Adit seorang pengusaha sukses dan ibunya seorang guru. Sedangkan keluargaku adalah keluarga termiskin. Ayah tiada sejak aku masih kelas 1 SD. Ibuku kemudian berjualan kue-kue untuk menghidupi kami yang sehari hanya menghasilkan uang sekitar limabelasan ribu. Aku juga sering membantu menjualkan kue-kue ibuku ke sekolah. Namun semua itu belum cukup untuk membiayai ibu dan kami, empat bersaudara. Aku sendiri pernah diusir dari kelas karena belum membayar uang bulanan sekolah selama tiga bulan. Karena kondisi itu aku menjadi seorang yang pendiam dan rendah diri.
Kemarin tanpa sengaja aku bertemu dengan Doni ketika pulang sekolah. Doni adalah sahabat Adit sejak SD. Jika Adit adalah seorang yang pendiam, Doni seorang cowok yang supel. Hampir semua orang mengenalnya. Dengan senang hati Doni menawarkan boncengan motornya dan mengantarkanku sampai rumah. Di jalan Doni bercerita:
“Mbak, kemarin Adit cerita kalau dia sebenarnya naksir sama cewek di desa kita juga ini lho,” cerita Doni memanggilku dengan embel-embel Mbak, tradisi di desa kami untuk menghormati orang yang usianya lebih tua.
”Yang bener aja, Don? Emangnya siapa?” “Tak tahu juga mbak, Adit tak sebut nama,” “Iyakah? Tapi di desa kita ini ‘kan banyak ceweknya?”.
“Iya juga ya mbak, and….kira kira siapa ya? Hayooo siapa………..?”
“Ooi oi siapa dia oh siapa dia,” Doni malah menyanyi seperti  pembawa acara Kuis Siapa Dia di TVRI waktu kami kecil dulu.
Aku hanya bisa tersenyum kecil, namun tak urung percakapan tadi membuat aku punya harapan. Tapi, ah tak mungkin masih banyak teman-temanku yang lebih pantas untuk dijatuhin cinta sama Adit. Meski kami satu sekolah tapi di sekolah pun aku hanya bisa menatap Adit dari jauh, ketika tanpa sengaja aku bertemu dengan Adit di kantin, di perpustakaan atau ketika sama-sama nonton pertandigan olahraga di lapangan sekolah, Adit tak pernah berusaha menyapaku. Kalau aku menyapa Adit duluan, tengsin ah. Aku masih berharap Adit yang memulainya.
Hari sudah beranjak sore, ketika kudengar suara sepeda motor berhenti di depan rumah. Segera kubuka pintu setelah terdengar ketukan. Ternyata  Doni dan….Adit. Doni mau meminjam soal-soal ulangan umum sekolah. Kukernyitkan dahiku, aku heran, untuk apa bukankah dia lain sekolah denganku?.
“Ehm….tenang mbak, tenang. Bukan untuk aku ko, Mbak. Itu tu untuk Adit,” kata Doni seperti mengetahui keherananku.  Kenapa sih tak mau bilang sendiri, toh udah di sini. Batinku agak kesal.
“Boleh kan Mbak, Mbak Tari yang baik…?” Aku melirik Adit yang hanya tersenyum tipis. Aku segera masuk rumah, dan mengambil lembaran soal-soal ulangan umum yang selalu kusimpan rapi tiap semesternya. Ketika kuberikan lembaran-lembaran itu, kubilang sama Doni agar nanti Adit yang mengembalikan sendiri. Doni hanya mengangguk.
****
Siang itu, ketika aku sedang ngobrol dengan temanku di halte, tiba-tiba …gedubrak….. terdengar suara seperti tabrakan. Kami terkejut, terlihat seorang pengendara motor yang nampak kesakitan jatuh terlempar beberapa senti dari motornya. Aku dan temanku segera menghampirinya. Orang-orang pun segera berhamburan menengoknya. Seketika jalan menjadi macet total. Beberapa orang segera mengangkat tubuh yang kesakitan itu ke halte. Kulihat darah keluar dari pelipis kanan dan siku tangan kanannya, dan ternyata dia adalah Adit. Namun tak lama polisi datang membubarkan kerumunan dan segera membawa Adit ke rumah sakit terdekat. Aku dan temanku menemaninya tanpa diminta.
Sesampainya di rumah sakit, Adit dibawa ke ruang gawat darurat. Polisi meminta sedikit informasi mengenai Adit. Aku mengatakan Adit adalah tetanggaku dan segera memberikan alamatnya. Polisi akan segera menghubungi pihak keluarga Adit. Lima menit kemudian temanku meminta pamit karena sudah terlambat pulang. Meski aku keberatan, kuanggukkan juga kepalaku.
Satu jam kemudian Adit di bawa ke ruang perawatan. Ruang itu terdiri dari empat tempat tidur ditata berjajar yang hanya dipisahkan oleh tirai putih. Adit mendapatkan tempat di dekat jendela. Kulihat Adit masih tertidur ketika perawat meninggalkan kami. Kamar ini hanya berisi aku dan Adit. Aku duduk di ranjang pasien sebelah tempat tidur Adit. Kutatap wajah Adit yang bagian pipinya masih lebam, pelipis dan tangannya dibalut perban, baju seragamnya telah berganti baju seragam rumah sakit. Kulirik jam tangan Adit, sudah hampir pukul 3 sore. Ke mana ya keluarga Adit, batinku. Aku turun dikursi dan kutelungkupkan kepalaku di ranjang. Di ruangan AC begini aku merasa ngantuk sekali.
Aku terkejut ketika perawat masuk membawakan obat untuk Adit, segera kuusap mukaku dan sedikit kurapikan rambutku. Kutengok Adit sudah terbangun, dan segera meminum obat yang dibawa perawat itu. Perawat kembali pergi setelah kuucapkan terimakasih kepadanya.  Kami sama-sama saling terdiam tak tahu harus berkata apa. Beberapa menit berlalu, kucoba memecahkan kekakuan ini.
”Dit, gimana rasanya, apa sudah baikan?” tanyaku lirih, agak salah tingkah sambil kusandarkan badanku ke dinding jendela. “Lumayan Mbak, Mbak dari tadi nungguin aku ya?” tanya Adit lemah.
Aku hanya mengangguk. Kami sama sama terdiam lagi, meski aku sangat senang berada di sini bersama Adit, tapi rasanya lidah ini kaku untuk mengajaknya bicara.
“Oya, ke mana Ibu Adit ya, kok sampai sekarang belum datang juga. Tadi polisi menjemput ke rumahmu lho?” tanyaku sambil memainkan kakiku dengan sesekali menatap kepada Adit.
“Mungkin di rumah tak ada orang, Mbak. Ibu setiap hari ada jadwal kuliah. Biasanya sih pulang jam setengah enam. Adikku juga les bahasa Inggris. Paling Mbok Warti yang biasa bantu kami bersih-bersih rumah,” jawab Adit dengan lemah sambil memalingkan wajahnya sedikit ke arahku. Aku hanya bisa mengangguk-angguk dan kembali terdiam.
Ketika senja sudah beranjak pergi, kudengar langkah tergesa memasuki kamar. Ayah dan ibu Adit yang kelihatan sangat mencemaskan Adit, segera menghampirinya yang terbaring lemah. Baru setelah itu ibu menoleh kepadaku dan mengucapkan terima kasih. Tak lama berselang Doni datang dengan kecemasan juga, Doni tersenyum padaku sebelum menyapa Adit. Wah untung ada Doni, bisa minta tolong nganterin aku pulang. Aku sudah capek dan lapar, dan pasti ibu juga khawatir banget aku telat pulangnya. Segera kuberbisik pada Doni untuk mengantarku pulang. Dan ternyata Doni mengiyakannya. Aku segera berpamitan pada ayah ibu yang tak henti mengucapkan terimakasih kepadaku karena sudah menemani Adit, begitu juga Adit dengan diiringi senyum manisnya.
***
Seminggu berlalu sejak peristiwa kecelakaan itu, di suatu sore ketika aku sedang memarut kelapa di dapur bersama ibu, terdengar bunyi motor berhenti di depan rumah. Aku segera keluar setelah mendengar pintu rumahku diketuk. Adit, dia memberikan kue tart coklat yang cantik yang biasanya hanya bisa kutengok di etalase toko roti, sebagai rasa terimakasih dari keluarganya. Kata Adit, itu bikinan ibunya. Satu lagi, dia mengembalikan soal-soal ulangan umum yang dulu pernah dipinjamnya bersama Doni.
“Mbak ini sesuai janji Doni, kalau aku yang akan mengembalikannya sendiri,” kata Adit sambil menyodorkan soal-soal ulangan umum itu dan menatapku penuh arti. Aku salah tingkah, seumur-umur aku belum pernah ditatap orang seperti itu. Tatapan yang membuat aku besar kepala. Tapi Adit langsung berpamitan. Dan ketika akan kuletakkan kumpulan lembaran soal-soal itu sebuah kertas berlipat jatuh dari sela-selanya, mungkin punya Adit yang terselip di lembaran ini. Segera kuambil dan kubuka, kubaca tulisan di dalamnya:
To : Mbak Tari
Mbak, Adit suka sama Mbak. Rasa ini sudah lama Adit simpan. Bagaimanakah perasaan Mbak pada Adit. Maaf ya Mbak?

hahahahahha..... begitu ceritanya
^_^

tulisan teori organisasi 7

Cerita di Balik Bukit Senja

Senja itu telah berlalu, tetapi Dinda masih berada di sana, menunggu sosok yang selama ini dia rindukan. Ia pandangi bukit senja itu, namun tak jua ia dapati apa yang ia tunggu-tunggu. Hingga senja merambat tua, ia belum juga beranjak, ia masih berdiri dan mematung. Bahkan sepertinya ia tidak mendengar seruan dari balik surau di bawah lereng bukit itu, sebuah seruan agar segera menunaikan kewajiban pada-Nya.
“Dinda, jangan berdiri di sana terus, ayo kita ke mushola.” Ajak seorang perempuan renta yang ia panggil nenek.
“Iya, nek.” Jawabnya singkat. Lalu ia berlari menyusuri lereng bukit yang berumput hijau itu. Sebuah tempat favorit Dinda untuk menanti senja tiba. Kini ia telah tiba di mushola mungil yang hanya ada beberapa orang saja yang bertandang ke sana.
Ia berusaha untuk tetap khusyuk di setiap sujudnya, namun di sujudnya yang terakhir, ia dapati potret wajah ibunya yang sedang tersenyum di balik jilbab putihnya. Kemudian ia bangkit dari sujudnya, dan yang ia dapati adalah tetesan bening yang mengalir dari sudut matanya.
Setiap kali ia menyelesaikan salam terakhirnya, ia selalu memanjatkan doa kepada Tuhan untuk ibunya yang telah membesarkannya sendirian tanpa seorang ayah, agar Dia selalu melindunginya, dan memberinya kesembuhan. Sudah dua tahun ibunya tergolek di dipan tanpa bisa bergerak, dan hanya sesekali ibunya berbaring di lantai saat ia merasa sudah letih berbaring di atas dipan. Dinda dan ibunya hanya hidup berdua saja, mereka tidak memiliki kerabat dekat selain tetangganya yang selalu dipanggil nenek oleh Dinda. Tetangganya itu tinggal tepat di belakang rumah Dinda. Hanya Dindalah yang kini merawat dan menjaga ibunya.
“Sudah makan, Din?” Tanya ibunya.
“Belum, bu,” Jawab gadis berusia sepuluh tahun itu.
“Kenapa?” Tanya ibunya lagi.
“Dinda mau puasa siang dan malam, agar Tuhan cepat mengembalikan ayah ke sisi kita.” Jawabnya polos. Sedang sang ibu hanya bisa menahan air mata.
Jika dibandingkan dengan gelandangan di luaran sana, mereka masih dibilang cukup beruntung, karena mereka masih memiliki rumah untuk berteduh dari panas dan hujan. Walaupun hanya nasi yang terbuat dari ubi yang mereka makan, namun setidaknya bisa mengganjal perut yang keroncongan. Ibunya yang lumpuh tidak bisa berbuat apa-apa, dan Dinda yang masih terlalu kecil harus bekerja keras mencari sesuap nasi demi mengisi perut mereka.
***
Pagi ini Dinda berangkat sekolah. Ia bersekolah dengan biaya beasiswa prestasi dari sekolahnya, jika tidak demikian maka bisa dipastikan ia tidak bisa bersekolah lagi. Sebelum berangkat, ia selalu menyelesaikan tugasnya memandikan dan memberi ibunya sarapan pagi terlebih dahulu, sering sekali Dinda harus terlambat ke sekolah karena jarak rumahnya dan sekolah cukup jauh jika ditempuh dengan jalan kaki.
“Assalamu’alaikum.” Ucap Dinda setelah berada di depan pintu kelasnya.
“Wa’alaikumsalam, silahkan masuk, Din.” Kata gurunya yang sudah memulai pelajaran matematika. Beruntung semua guru yang mengajarnya memahami kondisinya selama ini. Dia yang hanya hidup berdua dengan ibunya yang lumpuh, dan dia yang hidup tanpa seorang ayah, patut dikasihani. Mungkin karena alasan itu pula setiap awal bulan, sebagian guru-gurunya memberinya sumbangan, berbagai macam bentuknya, ada yang memberinya uang dan ada juga yang memberinya beras.
Pelajaran bahasa Indonesia masih teringat oleh Dinda ketika ia berjalan dengan lunglai menuju rumahnya. Ia masih teringat pelajarannya tadi yang menceritakan tentang sebuah keluarga, keluarga yang lengkap dan harmonis tentunya. Ia berjalan tertunduk sambil memandangi rumput-rumput yang bergoyang ditiup angin.
“Sudah pulang, Din?” Tanya ibunya.
“Ya…!” Jawabnya singkat sambil beranjak ke kamarnya. Lama sekali ia berkurung di kamarnya, sampai sore hari barulah ia menemui ibunya.
“Bu, ke mana ayah Dinda?” Pertanyaan itu tiba-tiba terlontar begitu saja. Ibunya tercengang mendengar pertanyaan anaknya.
“Ayah sedang pergi merantau, nak.” Jawab ibunya lirih. “Mungkin sore ini atau besok ia akan pulang,” lanjut ibunya lagi. Padahal ia sendiri tau bahwa suaminya itu tidak akan pernah pulang, tidak hari ini, besok, ataupun lusa.
Kali ini, Dinda telah berada kembali di bukit senja miliknya di belakang rumah.  Untuk menuggu ayahnya yang akan turun dari kereta api yang melintas di jalan bawah bukit tempatnya berdiri. Setiap hari ia mendatangi bukit itu untuk menuggu kedatangan lelaki yang hanya ia kenal melalui cerita-cerita ibunya, walau tak pernah ia dapati ayahnya turun, namun ia selalu melakukannya. Selama ia menjalani hari-harinya dengan hayalan ayahnya akan kembali pulang.
“Ayaaah…!” Teriaknya tiba-tiba saat melihat sesosok laki-laki turun dengan menggendong tas ransel berwarna hitam. Ia berlari menuruni bukit dengan cepat. Sebuah bukit yang menjadi saksi bisu saat ibunya tergelincir jatuh karena berlari mengejar bayang-bayang lelaki bertas ransel hitam, persis yang dilihat oleh Dinda. Saat itu ibunya sedang mengandung Dinda, dan usia kandungannya itu memasuki bulan ke sembilan, sesuai dengan bulan di mana ayah Dinda meninggalkannya pergi untuk merantau.
Dinda terus berlari menyusuri jalanan yang sedikit berbatu, tanpa alas kaki yang melindunginya dari tajamnya kerikil. Sesampainya ia di jalan raya, yang ia dapati hanyalah segerombolan kambing gembala yang sedang digiring oleh penggembalanya. Ia tak melihat sosok yang ia teriaki ayah tadi. Ia juga tak menemukan sisa-sisa bayangan lelaki itu.
Akhirnya ia pulang dengan gontai. Ibunya masih tergeletak di atas dipan yang beralaskan tikar pandan, ia pamitan kepada ibunya hendak ke mushola bersama nenek sebelah rumahnya, ia lihat ibunya masih terbaring lemah di sana.
“Mungkin ibu sedang shalat maghrib.” Pikirnya. Lalu ia keluar dan melangkah ke Mushala untuk mengaji. Lama Dinda berada di Mushala mungil itu. Sampai shalat isya’ tiba, ia menyelesaikan shalatnya terlebih dahulu baru pulang.
Hari gelap karena hujan akan turun sepertinya, ia percepat langkah kakinya, hingga nenek yang setia menemaninya ia tinggalkannya di belakang. Ia nampak begitu tergesa, ada perasaan aneh menelusup di dadanya tiba-tiba. Pe-rasaan tidak enak terhadap ibunya.
“Buu..!” Panggilnya setelah sampai di rumah. Namun rumahnya tampak sunyi. Tidak ada jawaban dari ibunya.
“Ibu…!” Panggilnya sekali lagi sambil mencari ibunya di kamarnya. Namun ternyata ibunya tidak berada di sana. Ia lari ke dapur,  ibunya juga tidak ada.
“Ke mana ibu?” Tanyanya dalam hati dengan cemas. Kemudian ia berlari ke sumur yang berada di belakang rumahnya, ternyata ia dapati ibunya berada di sana dengan keadaan tersungkur. Dan ketika ia balikkan badan ibunya yang kurus itu, ia lihat wajahnya pucat. Kemudian ia pegang denyut nadinya, ternyata sudah tidak terasa lagi. Di bawah langit gelap karena mendung hitam, lafaz Innalillahi itu terucap dari mulut mungil seorang anak yang berusia sepuluh tahun.***

^_^,,,,,,,,,,
mhon kritik dan sarannya......