Etika dalam Media Sosial

Minggu, 28 April 2013


Saat ini pertumbuhan media sosial di Indonesia sangat pesat. Sebagian besar anak muda kita, terutama yang tinggal di kota besar, aktif menggunakan internet untuk berkomunikasi, beraktivitas hingga update informasi.  Salah satu medium yang berkembang pesat adalah media sosial seperti Facebook, Twitter, blog dan lain-lainnya.
Saya percaya keberadaan media sosial di era new media ini akan memberikan banyak manfaat. Selain mendapat informasi secara cepat,  beragam juga langsung  dari sumber pertama.  Siapa saja dan kapan saja bisa berbicara bebas. Kita bisa berdiskusi atau ngobrol-ngobrol dengan orang yang tidak kita kenal. Di sinilah bagusnya new media, walau tidak saling kenal kita bisa berdiskusi secara baik di dalamnya.
Meski bebas berinteraksi di media sosial,  kadang kita melupakan etika. Kita seyogyanya tetap menjaga sopan santun, menjaga kesopanan saat berinteraksi di sana. Internet memberikan kebebasan, namun jangan sampai kebebasan itu kita salahgunakan.  Kebebasan yang kita dapat jangan digunakan untuk menyebar fitnah, kebohongan, atau hal lain yang merugikan pihak lain. Berselancar di media sosial, juga harus dijaga sopan santun  agar kita mendapat simpati, dipercaya, serta menjadi acuan masyarakat.
Banyak pihak yang tidak mengindahkan hal itu. Misalnya menyalah gunakan media sosial seperti facebook untuk hal-hal yang negatif. Kasus terbaru adalah lomba kartun nabi. Tentu hal ini dikatakan pembuatnya bentuk kebebasan, namun hal itu menyakiti orang lain.
Selain itu juga marak penipuan dengan melibatkan media sosial ini. Ada yang menipu lewat YM, Facebook, dan sebagainya. Internet adalah dunia terbuka, siapa saja bisa masuk ke dalamnya dan berbuat apa saja. Karena itu diperlukan filter. Selain undang-undang, filternya tentu dari diri kita sendiri. Dengan menerapkan etika kita bisa membuat dunia maya semakin aman dan nyaman bagi kita.
Kemajuan teknologi tampaknya akan selalu diikuti dengan berbagai ekses negatif, salah
satunya adalah teknologi komputer berbasis internet yang dilengkapi dengan berbagai
situs jejaring sosial, seperti friendster, myspace, facebook dan twitter. Banyak sudah
kasus yang terjadi sejak facebook dan twitter menjadi trend di kalangan masyarakat,
mulai dari kasus pencemaran nama baik, penculikan, penipuan, penyebaran paham
terlarang, hingga jejaring sosial ini dijadikan sebagai media prostitusi.
Ironisnya, situs jejaring sosial yang tersedia di masyarakat tersebut ternyata tidak hanya
diminati oleh kalangan dewasa saja tetapi juga diminati kalangan anak-anak yang dilihat
dari persyaratan usia, belum memenuhi kriteria untuk memiliki akun (account) di jejaring
sosial tersebut, yaitu anak-anak di bawah usia 13 tahun. Anak-anak tersebut sebenarnya
belum memiliki hak untuk mengakses dan bergabung dalam situs jejaring sosial, karena
pada dasarnya mereka adalah anak-anak yang belum mengetahui bagaimana etika
berkomunikasi di dunia maya. Mereka belum mampu memilih pesan-pesan atau
tindakan-tindakan yang tepat untuk dilakukan pada jejaring sosial. Melalui jejaring sosial
tersebut, mereka terkadang saling memaki, menghina, membuka rahasia pribadi atau
orang lain, mengunci password teman dan sebagainya. Oleh karena itu, tidak
mengherankan bila penelitian mengenai internet dan anak-anak menunjukkan adanya
peningkatan yang signifikan terhadap pelecehan dan kekerasan di dunia
maya/cyberbullying (Santrock, 2009: 525).
Di Indonesia, etika berkomunikasi di dunia maya tertuang dalam Undang-Undang
Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), khususnya Bab VII pasal 27 s.d. 32. Di
dalam UU tersebut dijelaskan sanksi hukum yang akan diterima oleh pihak-pihak yang
melanggar etika berkomunikasi di dunia maya. Beberapa kasus terkait dengan etika
berkomunikasi di dunia maya pernah terjadi di Indonesia dan diselesaikan dengan
menggunakan UU tersebut. Dikhawatirkan kasus-kasus serupa juga akan menimpa
anak-anak usia di bawah 13 tahun jika tanpa mereka sadari tulisan mereka di jejaring
sosial dianggap melanggar etika berkomunikasi, dan pihak-pihak yang merasa dirugikan
tidak bisa menerima apa yang dilakukan oleh anak-anak tersebut.